Senjaku dan Kita yang Telah Usai



Rona senja yang selalu meneduhkan membuai lamunanku. Kenangan demi kenangan yang menyeruak di dalam kalbu. Menguak hari demi hari yang pernah ku lewati bersamamu. Ah, memori yang seharusnya tak lagi ku simpan dalam ingatan. Namun, terkadang luka itu masih menganga.

Saat itu, di bawah tudungan langit senja kita pernah mengukir cerita. Kita bertemu untuk menuntaskan rindu, setelah terbelenggu kesibukan berminggu-minggu. Kamu tahu betapa berkecamuknya hatiku saat bertemu denganmu, namun lagi-lagi senyummu dan tuturmu membuat hatiku teduh kembali. Kita saling melempar senyum satu sama lain. Seperti biasa, kamu selalu mencairkan suasana ketika kehabisan bahan obrolan dengan segala ceritamu.
Aku menatap gerik matamu perlahan nan dalam, sepertinya ada sesuatu yang berkecamuk dalam hatimu. Namun entah apa aku juga tak tahu, ku pikir aku hanya sekedar menunggu waktu hingga kau mau berbagi denganku. Rindu yang membelenggu kita lebur bersama kala itu. Aku selalu memperhatikan setiap kata yang kau ucap, seperti biasa aku hanya diam terhanyut dalam ceritamu sembari memperhatikan setiap tingkah lucumu. Entah, rasanya lidahku kelu mengatakan hal-hal romantis saat bersamamu, mungkin karena aku malu. Sebenarnya aku selalu ingin mengucapkan terimakasih padamu, terima kasih selalu berusaha datang untuk menebus kerinduanku. Kamu memang bukanlah sesorang yang romantis dalam bertutur, tapi bagiku tiada yang lebih indah dari kehadiranmu disela kesibukan yang membelenggumu. Bagiku kamu sepotong senja yang dikirim Tuhan untuk mendamaikan hari-hariku.

Sayangnya, itu hanyalah cerita senja yang bergelayut di langit minggu, dua bulan yang lalu. Dan kini aku tahu, segala keresahan yang kulihat di matamu waktu itu, ternyata segala decak seruan batinmu memintaku pergi. Rasanya begitu menyakitkan tapi apalah dayaku. Untukmu....jika sepotong senja yang kau beri indahnya hanya sementara, lebih baik jangan kau berikan padaku. Karena betapapun indahnya senja saat itu, untuk apa jika hanya sementara, hanya memberi kesan, kemudian membuka luka yang menganga. Senja kala itu, benar benar menjadi saksi rengekkan hati yang luka. Gerimis senja kala itu, rasanya bersatu padu dengan deru tangisku. Senja kala itu seakan memelukku dan rintihanku. Hancur semua rasa yang bersatu padu, menyeruak....rayakan kehilangan, kala itu.

Cerita senja yang telah berlalu, cerita yang seharusnya tak ku ingat lagi. Namun, lagi-lagi luka itu menyeruak batinku. Kamu si manusia pengertian dan selalu membuat hatiku tenang, pergi...menghancurkan segala ilusiku. Mungkin bagimu, kamu mengerti waktu yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal. Kamu memang terlihat baik-baik saja kala itu. Tapi aku? Hatiku bergemuruh, sendu, seperti ada sebatang sembilu yang menyayat kalbuku.
Sungguh ironinya tangisku saat itu, duduk menyepi di pembaringan menunggumu di kala senja datang, berharap kamu datang kembali untuk menemaniku. Batinku mengiba memintamu kembali di sisiku. Kau telah hancurkan segala anganku tentang indahnya senja. Bagiku, senja sama saja denganmu. Telah lama ditunggu, namun hanya memberi keindahan sesaat, lalu pergi. Kini, aku sadar, aku dan kamu hanyalah frasa yang telah usai. Tak seharusnya aku meratap lagi. Lebih-lebih merengek memintamu kembali.

"Aku berterima kasih pada senja yang telah membawamu datang dan pergi. Aku belajar padanya, dalam mencintai sekadarnya saja. Tidak pula untuk berlarut-larut karena senja hanya menampakkan indahnya sementara, sama sepertimu yang pergi berlalu saat sedang indah-indahnya dan aku sedang cinta-cintanya." - Kamu Dan Senja Itu Sama, Cepat Berlalu Saat Sedang Indah-indahnya.

Kini, senjaku tak lagi memintamu tuk kembali. Senjaku tak lagi merinduimu dan rintihanku bukan lagi perihal tentangmu. Meski kini, kita memandang langit senja yang sama, tapi kisah kita telah berbeda. Terima kasih senja darimu aku belajar, keindahan datang sementara. Sementara esok? Langit senja akan berganti lagi. Entah kehadirannya ditemani kepingan keteduhan, rinai gerimis manis atau hanya mendung semu.



Cerita di atas hanya fiktif belaka, alur cerita hanya karangan dari penulis, beberapa referensi, dan request dari readers. Dalam tulisan ini, penulis hanya ingin menggambarkan keindahan senja yang datangnya sementara.